Suku Bantik atau Tou Bantik merupakan sub suku Minahasa di
Sulawesi Utara. Mereka tersebar di sebelah barat daya kota Manado, meliputi Malalayang,
Kalasei, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras, Tanamon,
Ratahan dan wilayah Mongondouw.
Menurut legenda, mulanya mereka berasal dari Sulawesi Utara, lantas
bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang yang letakanya
hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti. Di wilayah baru tersebut mereka
hidup rukun dan membentuk beberapa perkampungan. Sehingga masyarakat baru ini
disebut sebagai “Orang Bantik”.
Menurut penuturan para tua-tua atau sesepuh Minahasa, lokasi
pulau Panimbulrang berada di sebelah utara, dikawasan kepulauan Talaud dan
Philipina. Setelah waktu berjalan hingga beberapa generasi keturunan, terjadi sebuah
bencana alam besar. Pulau Tou Bantik sering diterjang gelombang besar sehingga seluruh
perkampungan Bantik rata dengan tanah dan
memaksa mereka menyeberang kembali ke arah Sulawesi Utara.
Mulai saat itu suku Bantik menjadi salah satu dalam kesatuan
suku Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda namun mereka
berasal dari satu keturunan. Yaitu dari keturunan Toar dan Lumimut, sehingga
mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.
Pada mula kedatangannya di Sulawesi Utara, masyarakat Bantik bermukim
di suatu tempat yang bernama Kaho antara Maumbi dan Kairagi. Kemudian mereka pindah
ke Pogidon Wenang, lantas bergerak kearah Utara dan menyebar di Singkil,
Bailang, Buha, dan Bengkol.
Dalam salah satu kelompok tersebut terdapat sepasang
suami-istri, Tolrombiga dan Hagi. Mereka terkenal sebagai ahli Makatana (pengobatan
tradisonal) dan Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang
bayi). Setiap kali ada wanita melahirkan Hagi dipanggil untuk menolong proses kelahiran.
Setiap kali ada orang yang membutuhkan pertolongnya, dia
selalu berkata pada pemanggil agar segera kembali kerumah lebih dulu dan Hagi
akan menyusul kemudian. Anehnya biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum pemanggil
sampai dirumah orang yang yang hendak melahirkan. Menurut keyakinan Tou Bantik,
sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak ini memiliki banyak sahabat
makloouk halus.
Sehingga mereka dikenal mempunyai kemampuan yang luar biasa sebagai
seorang ahli Makatana dan Biang.
Hingga disuatu pagi hari, Hagi merasakan suatu kehamilan pada
dirinya. Mendengar penuturan istrinya, Tolrombiga menuturkan bahwa semalam dia didatangi
sosok makluk halus yang mengatakan bahwa dia akan mempunyai keturunan. Namun syaratnya,
bila anaknya lahir nanti akan diminta oleh makluk halus untuk dipelihara
layaknya anak sendiri.
Setelah usia kandungan Hagi genap 9 bulan 10 hari, wanita
yang piawai menolong orang melahirkan ini sangat terkejut. Sebab, bayi yang keluar dari kandungannya ternyata
hanya air ketuban dasn suara tangis bayi saja, sedangnya janin keturunan mereka
tidak ada. Namun, Hagi segera diingatkan oleh suaminya, bahwa anak mereka telah
diambil sebagai anak angkat oleh makluk halus yang selama ini membantu
pekerjaan mereka. Sehingga bila ada tetangga dan masyarakat sekitar menanyakan
perihal kandungannya, dia menjawab bahwa janinnya mengalami keguguran.
Dalam hari-hari pertumbuhannya, bayi Hagi yang dipellihara
makluk halus tersebut setiap hari diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis
pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau). Sehingga bila melihat
jantung pisang tanduk ada yang tergores, diyakini orang Bantik bahwa jantung
pisang tersebut adalah makanan bayi makluk halus.
Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk
halus, akan mencari pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan menunggu
dibawahnya. Bila sosok halus tersebut datang mengambil makananya, niscaya akan
bertemu dengan makluk halus. Hal ini ditandai dengan munculnya suara tangis bayi.
Demikianlah bayi Hagi dipelihara oleh makluk halus sampai
menginjak masa remaja. Sekitar umut 18 tahun, sosok anak manusia tersebut dikembalikan
kepada ibu-bapanya yakni Tolrombiga dan Hagi, dan diberi nama Matansing, berasal
dari kata Tumansing yang artinya meloncat tinggi atau seperti terbang. Hingga pada
perjalanan hidup Matansing, pada umur 20 tahun dia turut ambil bagian dalam
perang Banten.
Legenda rakyat tentang Matansing berlangsung disekitar tahun
1770 dimasa penjajahan Belanda. Kala itu masyarakat Bantik yang mendiami
kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Balak Abuthan. Pada jaman kolonialisme Belanda tersebut tanah
Minahasa seperti halnya daerah-daerah lainnya di Indonesia dikuasai oleh VOC.
Pada saat kepala Balak
Abuthan sedang memimpin musyawarah masyarakat di Wenang, tersiarlah kabar bahwa
orang-orang Banten di pulau Jawa melakukan pemberontakan terhadap VOC. Sehingga
pemberontakan rakyat Banten menggegerkan Batavia yang pada waktu itu dipimpin
oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk.
Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di
wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan memasang
pengumunan di beberapa wilayah Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol,
Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu.
Karena kelicikan dan kepiawaian VOC dalam mengadu domba orang pribumi, akhinya Suku
Bantik bersedia untuk mengambil bagian dalam perang Banten.
Terbukti, di Jawa pemerintahan Jenderal Riemsdyk kewalahan
mengatasi pemberontakan karena kurangnya jumlah pasukan. Sehingga VOC di
Batavia meminta bantuan pasukannya yang berada di Ternate dan Minahasa guna menumpas
pemberontakan rakyat Banten.
Disini kolonial Belanda mendapatkan bantuan dari orang-orang
Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano serta tambahan dukungan dari Ternate.
Mereka berkumpul di Pogidon (Wenang) dan rencananya akan berangkat bersama ke
Pulau Jawa memakai armada laut.
Ditengah persiapan keberangakatan ke pulau Jawa, munculah seorang
laki-laki bernama Matansing dari wilayah Buha. Pria yang tidak lain adalah anak
Tolrombiga dan Hagi tersebut datang menghadap kepala Balak Abuthan. Setelah
Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya dalam berperang, Matansing
menjawab bahwa dirinya sangat pandai berperang dan akan dia buktikan.
Akhirnya Matansing, salah seorang pendekar Bantik ikut berangkat
ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda bersama sekitar 3000 orang lainnya. Angin kencang dari
belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang lebar sehingga kecepatan
kapal melaju cukup tinggi. Beberapa hari kemudian mereka tiba di pelabuhan
Donggala. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat.
Mengetahui tujuan kapal singgah ke Donggala untuk mengabil
air tawar, Matansing turun melalui tangga kapal dan mencelupkan daun Nyiru ke
air laut. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala, air laut disekitar
daun Nyiru itu dicelupkan berubah menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas
kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing.
Sehingga kemudian sampailah mereka dipelabuhan Banten.
Disepanjang pantai, ternyata pasukan kerajaan banten sudah berjaga-jaga
sehingga terjadilah pertempuran hebat. Bunyi tembakan, benturan pedang, sudah
tak terkendalikan lagi. Pada bagian ini terjadi diantara tahun 1775-1780.
Sementara pertempuran didarat sudah terjadi ternyata Matansing
masih berada di atas kapal. Dia nampak gelisah, hilir mudik di atas kapal. Tiba-tiba
lelaki yang 28 tahun diasuh makluk halus
ini berdiri siap dan masuk ke mulut meriam kapal. Dan menyuruh temannya
untuk menyalakan meriam.
Matansing terbang seiring dentuman merian dari kapal kearah
dermaga pelabuhan Banten. Konon, dia melayang bersama peluru meriam tadi,
terbang dan jatuh di atas istana tempat Raja Banten. Sesampai di istana,
Matansing langsung melabrak tujuh pengawal Raja Banten, yaitu tujuh orang
laki-laki tinggi besar, sehingga Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan
para pengawal tersebut sebelum tiba pada Raja.
Lelaki dari Bantik ini melompat seperti terbang di pepohonan sekitar
taman istana dan langsung menyerang 7 pengawal raja Banten. Matansing bertarung
sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh
pengawal Raja tadi.
Matansing segera menuju ruang kamar Raja Banten, didapatinya
Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala membuka mata, terkejutlah
Raja dan dengan segera Matansing membunuhnya. Sebagai bukti kemenangan, Matansing
mengambil kumis, janggut serta kuku Raja, untuk dibawah pulang.
Selesai mengambil barang bukti tersebut, Matansing kerluar
istana dan didapati ternyata perang telah berakhir. Laskar Banten kalah dan
Belanda menang. Sebagaimana ditulis dalam sejarah, bahwa pemberontakan Raja Banten
itu di kobarkan oleh Kyai Tapadan Ratu Bagus Buang. Diteruskan oleh Sultan
Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780
Sementara itu, sesampainya di Wenang Matansing langsung
menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa
bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang telah dikalahnya.
Karena kemampua, Abuthan membawa Matansing menemui Residen Tanrolf.
Disini Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang
berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari
keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah. Kemudian
Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha
(disuatu tempat yang disebut kelapa lima).
Suatu ketika datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, anak
Raja Hassanudin. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya
dan ingin mencari lawan di Utara Sulawesi. Untuk adu tanding kesaktian dengan mengadu
ayam sabungan. Maka Matansing mendengar kedatangan tamu tersebut. Ayam sabung
anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing
berbulu putih sampai kakinya.
Tidak lama berselang, ayam Matansing menang. Namun putra Raja
dari Sulawesi Selatan berseru tersebut berseru, “Ayam sabungannya boleh kalah
namun orangnya belum tentu kalah”. Mendengar tantangan duel tersebut Matansing masuk
ke arena sabung dan keduanya bersiap untuk bertarung. Ini adalah duel maut satu
lawan satu, keduanya bermufakat bahawa tempat yang akan dijadikan arena laga
ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa).
Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak
berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jagonya. Lantas terbanglah
Matansing keawan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung
Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang seru berlangsung sengit.
Pertarungan babak pertama selesai dan mereka beristirahat.
Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut dibabak kedua ini, Matansing
melayang terbang melalui gunung Tumpa dan Putra Raja Hassanudin seperti anak
panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik. Mendapat lawan tangguh, Matansing
mengambil tali rotan dari hutan untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan
Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus
tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher
musuhnya.
Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih
terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing
mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana
mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu
lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”. Hingga sekarang
diwilayah Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing, tempat tersebut disebut
kelapa lima.
Seiring perjalanan waktu, pendekar dari Buha tersebut sakit
tua dan menghilang hingga sekarang. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya. Menurut
kepercayaan rakyat, ia kembali ke Kahyangan. Pedang dan tombak milik Matansing,
masih ada di negeri Bantik. (pras)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar