Selasa, 26 Februari 2013

Matansing Cerita Rakyat Bantik,18 Tahun Diasuh Makluk Halus

Suku Bantik atau Tou Bantik merupakan sub suku Minahasa di Sulawesi Utara. Mereka tersebar di sebelah barat daya kota Manado, meliputi Malalayang, Kalasei, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras, Tanamon, Ratahan dan wilayah Mongondouw.

Menurut legenda, mulanya mereka berasal dari Sulawesi Utara, lantas bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang yang letakanya hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti. Di wilayah baru tersebut mereka hidup rukun dan membentuk beberapa perkampungan. Sehingga masyarakat baru ini disebut sebagai “Orang Bantik”.

Menurut penuturan para tua-tua atau sesepuh Minahasa, lokasi pulau Panimbulrang berada di sebelah utara, dikawasan kepulauan Talaud dan Philipina. Setelah waktu berjalan hingga beberapa generasi keturunan, terjadi sebuah bencana alam besar. Pulau Tou Bantik sering diterjang gelombang besar sehingga seluruh perkampungan Bantik rata dengan  tanah dan memaksa mereka menyeberang kembali ke arah Sulawesi Utara.

Mulai saat itu suku Bantik menjadi salah satu dalam kesatuan suku Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda namun mereka berasal dari satu keturunan. Yaitu dari keturunan Toar dan Lumimut, sehingga mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.

Pada mula kedatangannya di Sulawesi Utara, masyarakat Bantik bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho antara Maumbi dan Kairagi. Kemudian mereka pindah ke Pogidon Wenang, lantas bergerak kearah Utara dan menyebar di Singkil, Bailang, Buha, dan Bengkol. 

Dalam salah satu kelompok tersebut terdapat sepasang suami-istri, Tolrombiga dan Hagi. Mereka terkenal sebagai ahli Makatana (pengobatan tradisonal) dan Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi). Setiap kali ada wanita melahirkan Hagi dipanggil untuk menolong proses kelahiran.

Setiap kali ada orang yang membutuhkan pertolongnya, dia selalu berkata pada pemanggil agar segera kembali kerumah lebih dulu dan Hagi akan menyusul kemudian. Anehnya biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum pemanggil sampai dirumah orang yang yang hendak melahirkan. Menurut keyakinan Tou Bantik, sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak ini memiliki banyak sahabat makloouk halus. 

Sehingga mereka dikenal mempunyai kemampuan yang luar biasa sebagai seorang ahli Makatana dan Biang.
Hingga disuatu pagi hari, Hagi merasakan suatu kehamilan pada dirinya. Mendengar penuturan istrinya, Tolrombiga menuturkan bahwa semalam dia didatangi sosok makluk halus yang mengatakan bahwa dia akan mempunyai keturunan. Namun syaratnya, bila anaknya lahir nanti akan diminta oleh makluk halus untuk dipelihara layaknya anak sendiri. 

Setelah usia kandungan Hagi genap 9 bulan 10 hari, wanita yang piawai menolong orang melahirkan ini sangat terkejut.  Sebab, bayi yang keluar dari kandungannya ternyata hanya air ketuban dasn suara tangis bayi saja, sedangnya janin keturunan mereka tidak ada. Namun, Hagi segera diingatkan oleh suaminya, bahwa anak mereka telah diambil sebagai anak angkat oleh makluk halus yang selama ini membantu pekerjaan mereka. Sehingga bila ada tetangga dan masyarakat sekitar menanyakan perihal kandungannya, dia menjawab bahwa janinnya mengalami keguguran.

Dalam hari-hari pertumbuhannya, bayi Hagi yang dipellihara makluk halus tersebut setiap hari diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau). Sehingga bila melihat jantung pisang tanduk ada yang tergores, diyakini orang Bantik bahwa jantung pisang tersebut adalah makanan bayi makluk halus. 

Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, akan mencari pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan menunggu dibawahnya. Bila sosok halus tersebut datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan makluk halus. Hal ini ditandai dengan munculnya suara tangis bayi.

Demikianlah bayi Hagi dipelihara oleh makluk halus sampai menginjak masa remaja. Sekitar umut 18 tahun,  sosok anak manusia tersebut dikembalikan kepada ibu-bapanya yakni Tolrombiga dan Hagi, dan diberi nama Matansing, berasal dari kata Tumansing yang artinya meloncat tinggi atau seperti terbang. Hingga pada perjalanan hidup Matansing, pada umur 20 tahun dia turut ambil bagian dalam perang Banten.

Legenda rakyat tentang Matansing berlangsung disekitar tahun 1770 dimasa penjajahan Belanda. Kala itu masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Balak Abuthan.  Pada jaman kolonialisme Belanda tersebut tanah Minahasa seperti halnya daerah-daerah lainnya di Indonesia dikuasai oleh VOC.

Pada saat kepala  Balak Abuthan sedang memimpin musyawarah masyarakat di Wenang, tersiarlah kabar bahwa orang-orang Banten di pulau Jawa melakukan pemberontakan terhadap VOC. Sehingga pemberontakan rakyat Banten menggegerkan Batavia yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk.

Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan memasang pengumunan di beberapa wilayah Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu.
Karena kelicikan dan kepiawaian VOC  dalam mengadu domba orang pribumi, akhinya Suku Bantik bersedia untuk mengambil bagian dalam perang Banten.

Terbukti, di Jawa pemerintahan Jenderal Riemsdyk kewalahan mengatasi pemberontakan karena kurangnya jumlah pasukan. Sehingga VOC di Batavia meminta bantuan pasukannya yang berada  di Ternate dan Minahasa guna menumpas pemberontakan rakyat Banten.

Disini kolonial Belanda mendapatkan bantuan dari orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano serta tambahan dukungan dari Ternate. Mereka berkumpul di Pogidon (Wenang) dan rencananya akan berangkat bersama ke Pulau Jawa memakai armada laut.

Ditengah persiapan keberangakatan ke pulau Jawa, munculah seorang laki-laki bernama Matansing dari wilayah Buha. Pria yang tidak lain adalah anak Tolrombiga dan Hagi tersebut datang menghadap kepala Balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya dalam berperang, Matansing menjawab bahwa dirinya sangat pandai berperang dan akan dia buktikan.

Akhirnya Matansing, salah seorang pendekar Bantik ikut berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda bersama sekitar 3000 orang lainnya. Angin kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang lebar sehingga kecepatan kapal melaju cukup tinggi. Beberapa hari kemudian mereka tiba di pelabuhan Donggala. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat.
Mengetahui tujuan kapal singgah ke Donggala untuk mengabil air tawar, Matansing turun melalui tangga kapal dan mencelupkan daun Nyiru ke air laut. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala, air laut disekitar daun Nyiru itu dicelupkan berubah menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing.

Sehingga kemudian sampailah mereka dipelabuhan Banten. Disepanjang pantai, ternyata pasukan kerajaan banten sudah berjaga-jaga sehingga terjadilah pertempuran hebat. Bunyi tembakan, benturan pedang, sudah tak terkendalikan lagi. Pada bagian ini terjadi diantara tahun 1775-1780.

Sementara pertempuran didarat sudah terjadi ternyata Matansing masih berada di atas kapal. Dia nampak gelisah, hilir mudik di atas kapal. Tiba-tiba lelaki yang 28 tahun diasuh makluk halus  ini berdiri siap dan masuk ke mulut meriam kapal. Dan menyuruh temannya untuk menyalakan meriam.

Matansing terbang seiring dentuman merian dari kapal kearah dermaga pelabuhan Banten. Konon, dia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas istana tempat Raja Banten. Sesampai di istana, Matansing langsung melabrak tujuh pengawal Raja Banten, yaitu tujuh orang laki-laki tinggi besar, sehingga Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal tersebut sebelum tiba pada Raja.
Lelaki dari Bantik ini melompat seperti terbang di pepohonan sekitar taman istana dan langsung menyerang 7 pengawal raja Banten. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi.

Matansing segera menuju ruang kamar Raja Banten, didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala membuka mata, terkejutlah Raja dan dengan segera Matansing membunuhnya. Sebagai bukti kemenangan, Matansing mengambil kumis, janggut serta kuku Raja, untuk dibawah pulang.
Selesai mengambil barang bukti tersebut, Matansing kerluar istana dan didapati ternyata perang telah berakhir. Laskar Banten kalah dan Belanda menang. Sebagaimana ditulis dalam sejarah, bahwa pemberontakan Raja Banten itu di kobarkan oleh Kyai Tapadan Ratu Bagus Buang. Diteruskan oleh Sultan 

Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780
Sementara itu, sesampainya di Wenang Matansing langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang telah dikalahnya.  

Karena kemampua, Abuthan membawa Matansing menemui Residen Tanrolf. Disini Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah. Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (disuatu tempat yang disebut kelapa lima).

Suatu ketika datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, anak Raja Hassanudin. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan di Utara Sulawesi. Untuk adu tanding kesaktian dengan mengadu ayam sabungan. Maka Matansing mendengar kedatangan tamu tersebut. Ayam sabung anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya.

Tidak lama berselang, ayam Matansing menang. Namun putra Raja dari Sulawesi Selatan berseru tersebut berseru, “Ayam sabungannya boleh kalah namun orangnya belum tentu kalah”. Mendengar tantangan duel tersebut Matansing masuk ke arena sabung dan keduanya bersiap untuk bertarung. Ini adalah duel maut satu lawan satu, keduanya bermufakat bahawa tempat yang akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa).

Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jagonya. Lantas terbanglah Matansing keawan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang seru berlangsung sengit.

Pertarungan babak pertama selesai dan mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut dibabak kedua ini, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan Putra Raja Hassanudin seperti anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik. Mendapat lawan tangguh, Matansing mengambil tali rotan dari hutan untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher musuhnya.

Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”. Hingga sekarang diwilayah Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing, tempat tersebut disebut kelapa lima.




Seiring perjalanan waktu, pendekar dari Buha tersebut sakit tua dan menghilang hingga sekarang. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya. Menurut kepercayaan rakyat, ia kembali ke Kahyangan. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. (pras)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar