Rabu, 27 Februari 2013


Pasar Hewan dan Makanan Ekstrem di Tomohon
Kelelawar Dimasak Santan, Tikus Dibumbu Rica



Saat menonton tayangan telivisi seperti Fear Factor, kita kadang ngeri melihat orang-orang disuruh makan ulat, kecoa, dan makanan ekstrem lainnya. Padahal, di negeri jamrud katulistiwa ini ada suku Minahasa, Sulawesi Utara yang terbiasa menyantap makanan ekstrem alias tidak biasa dimakan oleh warga masyarakat di daerah lain. Penasaran?

Berbelanja atau hanya sekedar melihat-lihat makanan nyeleneh bisa dilakukan di Pasar Tomohon dan Pasar Langowan, Manado, Sulawesi Utara. Namun sebagian besar wisatawan lebih memilih ke Pasar Hewan Tomohon. Pasar di Kelurahan Paslaten, Kecamatan Tomohon Timur tersebut bisa dicapai dengan naik bus bertarif Rp 6.000,- per orang, berangkat dari Terminal Karombasan. Sepanjang 45 menit perjalanan menanjak dan berkelok-kelok, penumpang bisa menikmati pemandangan kota Manado dengan pantainya yang indah nan biru.

Tiba Terminal Beriman Tomohon kita cukup berjalan kaki untuk mencapai Pasar Hewan Tomohon. Sebab pasar tersebut bersebelahan dengan terminal bis yang tepatnya berada di Kelurahan Paslaten, Kecamatan Tomohon Timur.

Hati-hati! Sebelum memasuki pasar yang dikenal sebagai pusatnya perdagangan hewan dan makanan nyeleneh dan ekstrim tersebut, sebaiknya kita siapkan mental terlebih dahulu supaya kita tidak terkejut dengan dagangan yang digelar didalamnya. Sekadar cerita dari mulut kemulut warga setempat, banyak wisatawan asing yang datang ke tempat ini yang akhirnya balik kanan didepan gerbang pasar lantaran tercengan dan kasihan melihat hewan-hewan tersebut dibunuh, dibakar, dipotong-potong, dan dijual untuk dimakan.

Dideretan paling dekat dengan pintu masuk pasar, terdapat lapak penjual daging kelelawar yang dalam bahasa Manado disebut paniki. Kelelawar?  Memang keunikan Pasar Hewan Tomohon terbukti nyata mampu mengejutkan para wisatawan yang baru bertama kali datang dipusat perbelanjaan daging nyeleneh ini. Sebab ditempat ini hewan-hewan yang dijual oleh sebagian besar masyarakat di negeri ini tidak biasa dikonsumsi.

Berarti bukan paniki saja? Paniki bukanlah satu-satunya hewan yang dijual disini. Di Pasar Tomohon juga dijual daging ular piton, ikan cakalang, tikus, buaya, penyu, anjing, kucing, babi, sapi, ulat, rusa bahkan kera. Wow!

Ekstrim? Di tempat ini, daging-daging hewan tersebut biasa dijualbelikan sebagai menu makanan sehari-hari. Entah sejak kapan Pasar Tomohon ini berdiri. Tetapi satu hal yang pasti, pasar itu menjadi tempat warga Manado berburu bahan makanan hewani.

Pemandangan dari daging monyet yang dicacah bersanding daging ular piton besar, serta paniki dengan mukanya yang menyeringai sehingga terlihat gigi-gigi runcingnya menjadi pemandangan lazim bagi masyarakat Minahasa.

Resep Masakan Khas Minahasa

“Paniki ini dalam hidupnya hanya makan buah-buahan hutan, jadi enak sekali dimakan, dagingnya lembut dan ada rasa manisnya, lebih gurih dari daging ayam. Cocok dimasak bumbu santan,” ungkap Jeny Warokka (45) warga setempat yang biasa berbelanja di pasar Tomohon.
Paniki banyak didatangkan dari Ujung Pandang dan Gorontalo. Untuk ukuran besar dijual Rp 25 ribu /ekor sedangkan ukuran kecil Rp 15.000/ekor. Menurut Jheny, untuk memasak paniki kalau bisa jangan dibumbu pedas. Karena serat dagingnya yang lembut dan  agak rasa manis, lebih terasa nikmat bila dimasak bumbu santan.

“Begini cara masaknya, 4 atau 5 paniki ini dipotong potong, terus bumbu yang terdiri dari bawang merah 10 buah, jahe 1 iris, lombok merah 10 buah, 1 butir, bawang putih 5 siung dihaluskan dan ditumis dengan minyak kelapa 2 sendok. Setelah aroma gurihnya keluar masukkan paniki dan dioseng hingga setengah matang terus masukkan santan ukuran satu butir kelapa. Tunggu hingga matang. Nah…selamat mencoba,” imbuh Jheny memberi resep paniki santan.

Tidak jauh dari lapak hewan paniki, terdapat jejeran hewan tikus yang sudah dibakar dengan kulitnya terlihat menghitam. Tikus? Sekedar diketahui, binatang pengerat yang dijual dipasar Tomohon ini adalah jenis tikus pohon yang ditangkap dari hutan-hutan dikawasan Sulawesi Utara. Dijual dengan harga Rp 15 ribu/ekor ukuran besar dan Rp 10 ribu/ekor untuk kecil.  

“Rasanya? Enak, serius. Seperti perpaduan antara daging rusa yang manis dan daging sapi," ujar Jheny dengan mantap. Menurut wanita berkulit bersih ini, cara memasak tikus lebih cocok dibumbu rica alias pedas.

Lagi-lagi wanita asli suku Minahasa ini menularkan resepnya. Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan tikus rica antara lain 5 tikus dipotong-potong, lumuri garam dan air jeruk nipis. Siapkan 100 gram bawang merah, iris tipis,2 lembar daun jeruk, buang tulang daunnya. Bumbu yang dihaluskan 10 buah cabai merah,1 ruas jahe,Garam.

“Tumis bawang merah iris hingga layu, masukkan bumbu halus dan daun jeruk, tumis hingga harum. Masukkan tikus, aduk rata, tutup rapat, masak hingga matang,” tuturnya sambil melangkah kearah pedagang anjing.

Disini para penjaja daging anjing mendatangkan barang dagangannya dari peternakan di Palu dan Gorontalo. Di Manado daging anjing biasa disebut RW kependekan dari Rintek Wuuk (bahasa Minahasa) yang artinya bulu pendek. Dalam melayani pemebelinya, mereka memberikan dua pilihan.

Mau yang masih hidup atau sudah mati? Jika memilih anjing yang masih hidup, maka binatang penggonggong tersebut akan dimatikan terlebih dulu. Setelah itu dibakar dengan semburan api dari kompor tangan elpiji guna menghilangkan bulunya. Setelah bulu-bulu hewan tersebut terbakar, kemudian kulitnya tubuhnya dikerik dengan pisau dan kemudian dipotong-potong.

Untuk RW dijual dengan harga mulai Rp 350 ribu/ekor. Sedangkan bagi pembeli yang hanya membutuhkan beberapa kilo saja dibandrol dengan harga Rp 25 ribu/kg. “Untuk hari-hari biasa seperti ini, biasanya yang banyak pembeli kiloan. Kalau musim hari raya Natal atau Tahun  Baru biasanya pembeli minta perekor,” tutur Yansen Lendo (50) pedagang RW.

Sebagai penjual sekaligus penggemar masakan RW, Yansen ternyata suka membagikan resep masakan RW yang dia sebut sebagai resep keluarga yang didapat secara turun temurun. “Rw rasanya enak, cocok dimasak rica,” imbunya.

Sambil melayani beberapa pembeli, lelaki yang mengirim dua anaknya kuliah di Surabaya ini membeberkan resep masakan rica kebanggaannya. Tidak berbeda dengan resep Jheny untuk rica tikus, Yansen menambahkan 1 siung kunir, 1 gengam daun kemangi dan 7 batang daun bawang diiris seruas jari.

Yang tidak kalah menarik dari lapak pedagang RW adalah keberadaan daging ular piton. Karena langka dan sulit untuk mendapatkannya, daging ular piton mempunyai harga yang cukup mahal. Yosa Pondaag (40) membandrol harga daging binatang melata tersebut Rp 50 ribu/kilo. Uniknya, meskipun tergolong mahal, namun dalam sehari lelaki 3 anak ini mampu menjual 30 hingga 50 kilo perhari.“Daging ular ini sangat disukai untuk camilan saat pesta minum,” imbuhnya.

Dalam menggelar dagangannya, Yosa memajangnya diatas meja dalam kondisi ular utuh lengkap dengan kulitnya. Bila pembeli datang dia hanya menanyakan berapa kilo dan Yosa segera mengasah pisaunya untuk segera mencincang dan menimbangnya.“Biasanya saya dapat kiriman ular dari Tondano, Palu dan daerah lainnya,” imbuhnya

Para penjaja daging rusa pun tidak kalah. Ronal Sondak menggelar dagangan hewan mirip kambing tersebut secara utuh. Alasannya biar pembeli percaya bahwa yang mereka jual adalah benar-benar daging rusa bukan daging kambing atau binatang lainnya. “Daging rusa sangat mahal. Perkilo biasanya saya jual Rp 70.000,-. Makanya saya baru memotong motong dagingnya didepan pembelinya langsung,” ungkap Ronal serius.

Pedagang daging rusa di pasar ini, mendapat pasokan rusa dari hasil perburuan warga setempat. Namun  beberapa waktu terakhir ini pasokan dari kawasan sekitar sangat sedikit sementara permintaan masih banyak. “Untuk mendapatkan dagangan, saya mendatangkan daging rusa dari Kalimantan Tengah dan Papua,” imbuhnya.

Seekor rusa ukuran besar, Ronal membeli dari pemburu dengan harga Rp 5 juta. Namun ketika musim liburan Natal dan Tahun Baru harga rusa bisa naik hingga Rp 8 juta per ekor. “Saat itu pemintaan pembeli sangat tinggi, bahkan para pegawai Pemkot sering pesan jauh hari sebelum hari perayaan tiba,” tuturnya.

Bahkan, perayaan ulang tahun, pernikahan, atau syukuran rumah baru masayarakat Minahasa sering menggunakan daging rusa sebagai menu hidangan favoritnya. Untuk menyajikannya dimasak gulai atau balado. Untuk memasak gulai rusa,  membutuhkan 500 gr daging rusa segar, 7 siung bawang merah, 3 siung putih, 500 ml santan dari buah kelapa, 2 sdm kelapa sangrai,3 centi lengkuas, 5 buah cabe segar, 1/2 sendok teh ketumbar, 3 buah kemiri, 3 centi  jahe, 2 centi kunyit, 3 lembar daun salam, 3 lembar daun jeruk, 2 batang serai, garam dan marica secukupnya.

Cara membuat, daging rusa dirajang dadu ukuran 2×2 cm, rebus sebentar saja, karena daging rusa tidak terlalu liat. Semua bumbu digiling halus kecuali daun salam dan daun jeruk tumis bumbu dengan minyak sayur. Campur daging yg sudah direbus kemudian masukkan santan terus aduk  hingga matang, sambil cicipi masukkan garam dan penyedap rasa sesuai selera. Kecilkan api kompor, biarkan hingga 5 menit. Nah…siap disajikan.

Bagi wisatawan atau pengunjung pasar Tomohon untuk yang ingin mencicipi menu ekstrem tersebut tentu tidak harus beli daging di Pasar Tomohon, lalu memasaknya sendiri. Sebab dikawasan Sulawesi Utara tersebar banyak rumah makan yang menyajikan menu-menu khas Minahasa tersebut.

Beberapa rumah makan yang menjual menu ekstrem tersebut antara lain, RM Megfra, Heng-Mien, Tinoor Jaya, Nathan, Pemandangan, Imanuel Ragey, dan Kawangkoan Ragey. Rumah makan yang menyajikan menu ektrem tersebut umumnya berdiri di sepanjang jalan Manado-Tomohon. “Wisatawan bisa menikmati menu khas kami sambil menikmati pemandangan Kota Manado dari ketinggian,” tutur Pinkan Kandau (40) pengelola salah satu rumah makan di kawasan Manado-Tomohon.

Itulah keunikan daerah Sulawesi Utara dimana suku Minahasa berdiri secara turun temurun mewariskan keunikan budaya yang salah satunya budaya masakannya. Karena orang Minahasa suka mengkonsumsi ‘makanan hewani’ tentu pasar-pasar yang tersebar di beberapa tempat menjadi ramai dan menjadi pusat perhatian wisata. Hal ini semakin menjadi daya tarik yang lebih setelah dibumbui dengan keramahan masyarakatnya dalam menyambut dan melayani para wisatawan.(pras)

Korowai,Suku Pemakan Daging Manusia

Hidup di Rumah Pohon Belantara Papua

Di tengah kemegahan dan kemajuan negeri ini, ternyata masih ada suku yang memiliki kebiasaan menyantap daging manusai. Mereka hidup berkelompok diatas rumah pohon ditengah belantara bagian selatan Papua. Kanibal? Bahkan ada agen wisata yang menawarkan kunjungan wisata selama beberapa hari untuk tinggal bersama dengan suku kanibal ini. Wow!

Papua terkenal dengan kekayaan sumber daya alam serta keragaman sukunya. Salah satunya adalah suku Korowai, satu-satunya suku kanibal yang masih tersisa hingga sat ini. Mereka menguasai wilayah seluas 600 km persegi dibagian selatan pulau Papua. Mereka sebenarnya suku yang cerdas, terbukti mereka mampu membangun sebuah kelompok masyarakat dengan perkampungan yang sulit untuk ditinggali manusia pada umumnya.

Selain gemar memakan daging manusia, disetiap harinya mereka hidup dengan memakan berbagai macam hasil alam, seperti sagu, pisang, palem, pakis, dan hewan-hewan yang bisa diburu. Selain mengonsumsi hewan-hewan buruan seperti burung kasuari, ular, kadal, rusa, atau babi hutan, masyarakat suku Korowai juga memakan larva kumbang.

Dalam keseharian, masyarakat berkulit gelap ini hanya mengenakan pakaian dari dedaunan serta memiliki berbagai macam bentuk senjata. Hal ini disesuaikan dengan apa yang akan mereka buru. Misalkan, tombak khusus untuk membunuh manusia, babi hutan dan menebang sagu.

Masyarakat Korowai tidak mengonsumsi daging manusia secara sembarangan. Berdasarkan kepercayaan yang mereka anut, suku Korowai hanya membunuh manusia yang dianggap melanggar aturan dalam kepercayaan mereka. Salah satunya jika salah seorang warga diketahui sebagai tukang sihir atau khuakhua.
Warga yang dicurigai sebagai khuakhua akan diadili. Jika banyak bukti dia akan segera dibunuh dan dimakan. Anggota tubuh pelaku khuakhua yang telah dihukum mati akan dibagi-bagikan pada semua anggota suku. Sementara otaknya akan dimakan selagi hangat. Orang yang ditugasi membunuh khuakhua adalah yang berhak menyimpan tengkoraknya.

Kebiasaan membunuh dan memakan daging manusia adalah bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Setelah mereka memakan habis tubuh khuakhua, mereka akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu sambil bernyanyi semalaman.

Mungkin bagi orang yang bukan anggota suku Korowai, memakan sesama manusia seperrti itu adalah hal yang sangat menjijikkan dan tidak masuk akal sekaligus mengerikan. Namun kenyataannya, hingga saat ini suku Korowai masih mempraktikkan budaya tersebut. Hampir semua orang dalam suku Korowai pernah ikut memakan daging manusia. Jadi, kanibalisme bagi mereka bukan merupakan hal yang tabu dan bisa dilakukan kapan saja.

Disisi lain dari adat kanibalisme yang mereka anut, keunikan cara hidup dan kebudayaan suku sari ujung timur Nusantara ini sangat menarik bagi para agen pariwisata. Bahkan ada agen wisata yang menawarkan kunjungan wisata selama 12 hari untuk tinggal bersama dengan suku Korowai.

Herlambang (45) seorang pria asal Surabaya pernah ikut bergabung dalam paket kunjungan wisata ke suku kanibal ini. Dia menginap bersama di rumah pohon suku Korowai, bercengkerama dan memakan makanan mereka. Selama hampir dua minggu penggusaha dari Kota Buaya ini ikut serta menjalani kehidupan suku. Belajar bahasa Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Apakah Anda cukup berani untuk menikmati hari-hari bersama para pemakan manusia ini?

Dalam ada keseharian, babi digunakan sebagai alat tukar. Misalnya dalam penyelesaian sengketa antara keluarga dan juga dikorbankan dalam sebuah upacara adat dengan membiarkan darahnya mengalir kedalam sungai sebagai korban pemujaan untuk dewa mereka. “Babi digunakan untuk upaca agama keyakinan mereka. Pada masa sulit pangan dan buruan mereka akan mengorbankan babi agar roh leluhur mereka menolong merek,” ungkap Herlambang.

Pesta adat yang lebih baik menurut orang-orang dari luar suku Korowai, dari pada memakan manusia adalah pesta makan Sagu. “Makanan lain yang lezat adalah tempayak atau larva dari kumbang Capricorn yang bisa diambil dari pangkal pohon sagu,” imbuhnya.
Mulai Mengenal Dunia Luar

Keberadaan suku Korowai sendiri baru diketahui pada tahun 1970-an. Sebenarnya beberapa tahun sebelumnya sudah banyak peneliti-peneliti dari luar negeri bermaksud masuk kelingkungan adat suku Korowai. Namun sayangnnya tidak membawa hasil bahkan dikabarkan ada yang tidak kembali.
Kala itu seorang misionaris Belanda berhasil datang ke kawasan dan mulai menjalani hidup bersama mereka. Dari misionaris inilah pada akhirnya suku Korowai mempelajari bahasa dan kebiasaan manusia lain dari luar masyarakat mereka.

Pada tahun 1979, misionaris tersebut mendirikan sebuah pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada dunia luar. Biasanya yang mau bergabung dengan pemukiman baru tersebut adalah anggota suku Korowai yang masih muda usia.

Kunjungan berikutnya dilakukan oleh Rupert Stasch, seorang antropolog dari Reed College, Oregon. Stasch tinggal selama 16 bulan bersama suku Korowai untuk mempelajari kebudayaan mereka. Selain itu, pada bulan Januari - Februari 2011, tim Human Planet BBC juga mendatangi suku Korowai untuk mengabadikan kebudayaan mereka yang unik dalam membangun rumah.

Di antara para peneliti yang paling fenomenal adalah kunjungan seorang wartawan bernama Paul Raffaele. Dia menetap selama empat hari bersama suku Korowai pada bulan Mei 2006. Dalam sebuah penelitiannya, Paul mengatakan, kanibalisme bagi suku Korowai penting bagi hubungan mereka dengan dunia gaib.
Rumah diatas pohon suku korowai

Kediaman para anggota suku Korowai berada tinggi di atas poho ditengah belantara. Di hutan dataran Papua tersebut rumah-rumah pohon suku pemakan manusia ini menyapa penjelajah dari penjuru dunia.

Rumah-rumah sederhana itu terbuat dari pelepah daun nipah, pohon penghasil sagu. Untuk atap nya dan alas rumah dibuat dari kulit katu balsa yg diserut dengan pisau karang. Hal ini membuat rumah pohon tidak lah sederhana karena letaknya yg berada 40-50 m dari atas tanah. Rumah yang dapat menampung 5 keluarga ini proses pembangunannya membutuhkan waktu minimal 2 thn.

Sebenarnya hal ini tidak cocok jika Suku Korowai dianggap suku primitif. Terlihat dari ketatnya aturan dalam hal etika kesusilaan dibanding dengan masyarakat modern pada umumnya. Terbukti, kondisi rumah berukuran 6 X 11 X 7 meter tersbut terbagi 2 ruangan yakni ruang laki-laki dan ruang wanita lengkap dengan beranda masing-masing. Kaum laki-laki tidak boleh masuk keruangan wanita, begitu juga sebaliknya.

Jangankan masuk, untuk berbicara pun tidak dilakukan secara tatap muka melainkan melalui pembatas. Pengecualian bagi laki-laki yg masih menyusui boleh berada dalam ruangan wanita sampai berhenti menyusu. Bilik wanita juga sekaligus menjadi tempat penyimpanan semua harta kekayaan dan binatang peliharaan, mulai dari kalung taring babi,gigi anjing, kalung kerang hingga anjing dan babi.

Uniknya, walaupun sama-sama suku dari Papua, tidak semua diantara para suku itu bisa memanjatnya rumah Korowai. Ada teknik tertentu dan hanya suku rumah pohon yang bisa melakukannya. Jika sampai terpeleset bakal terjatuh dan dipastikan luka parah bahkan kematian bakal merengut. Soal memanjat, suku Korowai adalah ahlinya, bayangkan bagaimana mereka membawa anjing dan babi dari bawah dibawa naik kedalam rumah dan sebaliknya.

Wanita Korowai juga gemar berdandan, mulai dari hidung yg di gantungi perhiasan dari rotan dan kalung dari kerang. Lengan berhias gelang akar rotan dan cawat kecil buat menutupi aurat. Sedangkan kaum laki-laki hanya bertelanjang bulat.

Merujuk pada data dinas sosial, jumlah suku korowai mencapai 2000 keluarga dan melalui program turun pohon alias dirumahkan layaknya masyarakat papua lainnya hanya berhasil 92 keluarga sedangkan sebagian besar memilih tetap diatas pohon. Seiring pejalanan waktu, tak lagi jelas berapa jumlah anggota suku ini apakah bertambah atau menyusut akibat penyakit, peperangan dan akibat lainnya.

Saat sebagian besar anggota suku Korowai mulai mau turun pohon untuk bermukim dirumah-rumah biasa, mereka semakin terbuka untuk  berbincang-bincang dengan orang dari luar suku mereka. Beberapa anggota suku korowai dengan keras membantah kalau sukunya memiliki kegemaran pemakan manusia.

Mereka menjelaskan, apa yang dilakukan hanyalah sebatas ritual untuk mengingatkan kepada pihak lain bahwa yg dilakukan sudah kelewat batas. Mereka yang sudah hidup didaratan mengatakan suku Korowai tidak main panah bila bertemu pendatang baru atau suku lainnya. Apalagi kemudian memakan dagingnya.
Mansye Kepala Suku Suka Makan Payudara

Manasye adalah nama lelaki seorang suku Korowai yang berperawakan kurus, dengan rambut keriting khas Papua. Dia adalah Kepala Suku Korowai, masih senang tinggal bersama anggota sukunya di dalam hutan. Dia mengatakan anggota sukunya masih suka gaya hidup berperang, berburu, berzinah dan membunuh sampai hari ini.

Dia mengatakan, praktek kanibalisme masih terjadi di sana, sampai hari ini, terutama bila ketahuan mencuri, mempraktekkan suanggi (iblis/santet), berzinah, tak ayal lagi mereka akan dibunuh dan mayatnya dimakan bersama-sama. Dulu, Manasye lebih suka bagian susu atau payudara wanita dan mungkin karena banyak lemaknya.


Manasye pernah diundang dan bertemu dengan ibu Linda Gumelar, (Menteri Pemberdayaan Perempuan). Bahkan mereka pernah datang ke Jakarta untuk memenuhi undangan Presiden SBY.  Setelah bertemu presiden, kabarnya suku Koroway mendcapat sejumlah bantuan, namun tindak lanjutnya tidak ada. Bantuan itu raib di tengah jalan alias tidak sampai ke mereka.(pras)

Purwaceng, Viagra dari Dieng.

Urusan kejantanan pria, ternyata sudah menjadi bahan pembicaraan sejak jaman raja-raja Hindhu di Tanah Jawa. Terbukti dijaman itu sudah ditemukan obat seperti viagra untuk menigkatkan kualitas seksualnya kaum pria. Uniknya obat tersebut berupa tanaman yang ada di kawasan Dieng. Tidak salah bagi anda yang mengalami gangguan keperkasaan atau sekedar penasaran untuk mencobanya. 

Purwaceng adalah tanaman yang dikenal dengan viagra tradisional ini memang tersohor karena khasiatnya yang bikin stamina lebih greng. Dalam bahas latin tanaman ini disebut Pimpinella Pruatjan adalah tumbuhan dari genus Apiaceae. Biasanya diolah dalam bentuk bubuk purwaceng, kopi purwaceng dan susu purwaceng. Terkenal karena khasiatnya yang dapat meningkatkan stamina tubuh bagi yang meminumnya. 

Meski agak sulit mencarinya, namun tak sedikit orang rela bersusah payah mendapatkan Purwaceng.
Penampakan fisik Purwaceng adalah semak kecil merambat di atas permukaan tanah seperti tumbuhan pegagan dan semanggi gunung, banyak ditemukan di pegunungan seperti di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Daunnya kecil-kecil berwarna hijau kemerahan dengan diameter 1-3 cm. Ini tanaman legendaris yang dijadikan obat kuat oleh para raja atau kalangan istana di daerah Jawa.

Memang tidak sedikit tumbuhan atau tanaman obat yang memiliki khasiat penambah stamina atau dalam bahaya kerennya aprosidiak, biasanya memang digunakan atas dasar mitos, kepercayaan dan pengalaman. Namun untuk khasiat tanaman Purwaceng ini bukan sekedar mitos belaka karena studi sudah membuktikannya.

Pertama kali ditemukan di pegunungan Alpen, Swiss dengan ketinggian 2000-3000 meter di atas permukaan laut. Dipegunungan Lyang, Jawa Timur purwaceng disebut dengan nama Suripandak abang dan digunung Tengger disebut Gebangan Depok.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan beberapa perguruan tinggi dalam negeri diketahui bahwa ada efek nyata tanaman purwaceng terhadap peningkatan kemampuan seksual sangat tinggi. Oleh karena itu, Purwaceng sering disebut sebagai Viagra tradisional atau Viagra Indonesia.

Seperti dikutip dari hasil studi peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007, seluruh bagian tanaman purwaceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, namun bagian yang paling berkhasiat adalah akarnya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan juga membenarkan bahwa akarnya mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai aprosidiak, yaitu khasiat obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina.

“Umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai aprosidiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah,” ungkap Heri Kusuma (43) Alumnus IPB.

Bahan aktif purwaceng paling banyak terdapat pada bagian akarnya yang menyerupai wortel dan berwarna putih, panjangnya sekitar 10 cm. Akar purwaceng mengandung turunan senyawa kumarin yang sering digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk aprodisiak melainkan untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker. Untuk mendapatkan khasiat nyata, yaitu meningkatkan gairah seks, hormon testosteron dan meningkatkan jumlah spermatozoid. Purwaceng harus diminum teratur selama 7-15 hari.

“Selain itu tanaman ini juga berkhasiat menghangatkan tubuh, saraf dan otot, menghilangkan masuk angin dan pegal linu, melancarkan buang air kecil, obat analgetika (menghilangkan rasa sakit), menurunkan panas, obat cacing, antibakteri serta anti kanker. Purwaceng yang asli memiliki rasa khas, yaitu pedas, yang dihasilkan oleh akar dan bijinya,” tambah Heri.

Cara Meramu Purwaceng

Purwaceng sebenarnya tergolong tanaman langka dan hampir saja punah, namun kini dapat diselamatkan dengan budi daya menggunakan metode kultur in vitro. Sebetulnya, purwaceng sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu. Konon, di zaman dahulu hanya para raja yang mengonsumsinya sebagai minuman. Semakin lama tanaman yang aslinya tumbuh liar di Gunung Perahu dan Gunung Pakujiwo di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah ini, makin banyak dikonsumsi rakyat biasa.

Kini, purwaceng pun sudah banyak dibudidayakan. Meski termasuk jenis perdu, purwaceng merupakan tanaman yang tergolong langka. Dia hanya bisa tumbuh baik di dataran Tinggi Dieng, dengan ketinggian 2.000 dpl (di atas permukaan laut). Tanaman ini memang tergolong “rewel” dalam memilih tempat untuk hidup.

Saat tanaman ini dicabut dari tanah, aroma harum khas purwaceng langsung bisa tercium. Setelah dipanen, purwaceng langsung dicuci bersih sampai ke akarnya. Purwaceng yang masih segar bisa langsung disantap sebagai lalapan, dengan khasiat yang tak berbeda dari tanaman keringnya.

Untuk dijadikan minuman, purwaceng yang sudah dicuci bersih langsung dikeringkan selama 1-2 hari. Jika kering dalam 1 hari, 10 kg purwaceng basah akan menyusut menjadi 1 kg purwaceng kering.
Sedangkan jika kering dalam 2-3 hari, dibutuhkan 11-12 purwaceng basah agar bisa menyusut menjadi 1 kg. Purwaceng kering bisa bertahan sampai satu tahun. Setelah kering, purwaceng siap dijadikan minuman. Untuk mendapatkan khasiat secara nyata, purwaceng harus diminum secara teratur selama 7-15 hari.

Selain dikenal sebagai viagra juga berkhasiat menjaga kesehatan tubuh. Antara lain, menghangatkan tubuh, saraf dan otot, menambah stamina tubuh, menghilangkan masuk angin dan pegal linu, serta melancarkan buang air kecil. Manfaat Lain Purwaceng adalah sebagai sebagai obat analgetika (menghilangkan rasa sakit), menurunkan panas, obat cacing, antibakteri dan antikanker.
Untuk olahan purwaceng dalam bentuk bubuk rasa kopi tak boleh diminum perempuan hamil dan penderita hipertensi serta penyakit jantung. Nah, buat para penggemar minuman tradisional yang menginginkan unsur vitalitas dan keperkasaan bisa meramu purwaceng, Jahe, gula putih, gula palem, krimer, pinang, ginseng, tribulus terrestris, dan kopi. Ramuan ini menghasilkan minuman yang nikmat menyehatkan dan memiliki khasiat keperkasaan.
Berburu Viagra
Untuk menemukan tanaman viagra di alam liar, kita bisa mencarinya di Dataran Tinggi Dieng. Dataran tinggi yang terletak di dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara ini mempunyai pemandangan yang sangat mempesona. Perpaduan pemandangan Telaga Warna Dieng dan keberadaan candi-candi Hindu.

Untuk menemukan purwaceng, kita harus menyisir rerumputan dan pepohonan dikawasan Dieng.  Namun bila tidak mau repot-repot, bisa mampir di warung-warung yang berjajajar di sekitar perjalanan menuju Telaga Warna. Sudah dikenal bahwa warung warung tersebut menyediakan purwaceng dalam berbagai olahan minuman. Ada dalam bentuk kopi, the, ronde dan lain-lain.

Tepatnya, sebelum memasuki gapura kawasan danau ada sebuah warung yang menyediakan kopi purwaceng, minuman ajaib yang menghangatkan badan. Minuman herbal tersebut dikawasan ini memang tersohor sebagai obat kuat suami istri. Alhasil, setelah beberapa menit minum kopi purwaceng, dipastikan rasa hangat mengaliri tubuh setelah menenggak purwaceng.

Sejak zaman kerajaan Hindu kuno purwaceng memang sudah dikenal. Para raja dijaman itu mengkonsumsi tanaman ini dalam bentuk minuman. Dulu tanaman purwaceng belum dibudidayakan oleh para petani. Selain Dieng, juga tumbuh liar di Gunung Perahu.

“Beberapa penduduk setempat memakan Purwaceng yang masih segar. Jadi juga bisa langsung di konsumsi sebagai lalapan. Khasiatnya juga tidak berbeda jauh dengan yang sudah di keringkan,” ujar Mak Ti (60) penjual kopi purwaceng.




Namun bagi yang menginginkan bentuk lain, purwaceng sudah di jual di dalam kemasan dan sudah dimodifikasi dengan rasa lainnya seperti purwaceng kopi dan purwaceng susu. Jadi bagi orang yang tidak suka jamu tradisional bisa membeli purwaceng yang bukan original.(pra)

Selasa, 26 Februari 2013

Matansing Cerita Rakyat Bantik,18 Tahun Diasuh Makluk Halus

Suku Bantik atau Tou Bantik merupakan sub suku Minahasa di Sulawesi Utara. Mereka tersebar di sebelah barat daya kota Manado, meliputi Malalayang, Kalasei, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras, Tanamon, Ratahan dan wilayah Mongondouw.

Menurut legenda, mulanya mereka berasal dari Sulawesi Utara, lantas bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang yang letakanya hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti. Di wilayah baru tersebut mereka hidup rukun dan membentuk beberapa perkampungan. Sehingga masyarakat baru ini disebut sebagai “Orang Bantik”.

Menurut penuturan para tua-tua atau sesepuh Minahasa, lokasi pulau Panimbulrang berada di sebelah utara, dikawasan kepulauan Talaud dan Philipina. Setelah waktu berjalan hingga beberapa generasi keturunan, terjadi sebuah bencana alam besar. Pulau Tou Bantik sering diterjang gelombang besar sehingga seluruh perkampungan Bantik rata dengan  tanah dan memaksa mereka menyeberang kembali ke arah Sulawesi Utara.

Mulai saat itu suku Bantik menjadi salah satu dalam kesatuan suku Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda namun mereka berasal dari satu keturunan. Yaitu dari keturunan Toar dan Lumimut, sehingga mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.

Pada mula kedatangannya di Sulawesi Utara, masyarakat Bantik bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho antara Maumbi dan Kairagi. Kemudian mereka pindah ke Pogidon Wenang, lantas bergerak kearah Utara dan menyebar di Singkil, Bailang, Buha, dan Bengkol. 

Dalam salah satu kelompok tersebut terdapat sepasang suami-istri, Tolrombiga dan Hagi. Mereka terkenal sebagai ahli Makatana (pengobatan tradisonal) dan Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi). Setiap kali ada wanita melahirkan Hagi dipanggil untuk menolong proses kelahiran.

Setiap kali ada orang yang membutuhkan pertolongnya, dia selalu berkata pada pemanggil agar segera kembali kerumah lebih dulu dan Hagi akan menyusul kemudian. Anehnya biang Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum pemanggil sampai dirumah orang yang yang hendak melahirkan. Menurut keyakinan Tou Bantik, sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak ini memiliki banyak sahabat makloouk halus. 

Sehingga mereka dikenal mempunyai kemampuan yang luar biasa sebagai seorang ahli Makatana dan Biang.
Hingga disuatu pagi hari, Hagi merasakan suatu kehamilan pada dirinya. Mendengar penuturan istrinya, Tolrombiga menuturkan bahwa semalam dia didatangi sosok makluk halus yang mengatakan bahwa dia akan mempunyai keturunan. Namun syaratnya, bila anaknya lahir nanti akan diminta oleh makluk halus untuk dipelihara layaknya anak sendiri. 

Setelah usia kandungan Hagi genap 9 bulan 10 hari, wanita yang piawai menolong orang melahirkan ini sangat terkejut.  Sebab, bayi yang keluar dari kandungannya ternyata hanya air ketuban dasn suara tangis bayi saja, sedangnya janin keturunan mereka tidak ada. Namun, Hagi segera diingatkan oleh suaminya, bahwa anak mereka telah diambil sebagai anak angkat oleh makluk halus yang selama ini membantu pekerjaan mereka. Sehingga bila ada tetangga dan masyarakat sekitar menanyakan perihal kandungannya, dia menjawab bahwa janinnya mengalami keguguran.

Dalam hari-hari pertumbuhannya, bayi Hagi yang dipellihara makluk halus tersebut setiap hari diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau). Sehingga bila melihat jantung pisang tanduk ada yang tergores, diyakini orang Bantik bahwa jantung pisang tersebut adalah makanan bayi makluk halus. 

Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, akan mencari pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan menunggu dibawahnya. Bila sosok halus tersebut datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan makluk halus. Hal ini ditandai dengan munculnya suara tangis bayi.

Demikianlah bayi Hagi dipelihara oleh makluk halus sampai menginjak masa remaja. Sekitar umut 18 tahun,  sosok anak manusia tersebut dikembalikan kepada ibu-bapanya yakni Tolrombiga dan Hagi, dan diberi nama Matansing, berasal dari kata Tumansing yang artinya meloncat tinggi atau seperti terbang. Hingga pada perjalanan hidup Matansing, pada umur 20 tahun dia turut ambil bagian dalam perang Banten.

Legenda rakyat tentang Matansing berlangsung disekitar tahun 1770 dimasa penjajahan Belanda. Kala itu masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh Kepala Balak Abuthan.  Pada jaman kolonialisme Belanda tersebut tanah Minahasa seperti halnya daerah-daerah lainnya di Indonesia dikuasai oleh VOC.

Pada saat kepala  Balak Abuthan sedang memimpin musyawarah masyarakat di Wenang, tersiarlah kabar bahwa orang-orang Banten di pulau Jawa melakukan pemberontakan terhadap VOC. Sehingga pemberontakan rakyat Banten menggegerkan Batavia yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk.

Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang, segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan memasang pengumunan di beberapa wilayah Titiwungen, Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu.
Karena kelicikan dan kepiawaian VOC  dalam mengadu domba orang pribumi, akhinya Suku Bantik bersedia untuk mengambil bagian dalam perang Banten.

Terbukti, di Jawa pemerintahan Jenderal Riemsdyk kewalahan mengatasi pemberontakan karena kurangnya jumlah pasukan. Sehingga VOC di Batavia meminta bantuan pasukannya yang berada  di Ternate dan Minahasa guna menumpas pemberontakan rakyat Banten.

Disini kolonial Belanda mendapatkan bantuan dari orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano serta tambahan dukungan dari Ternate. Mereka berkumpul di Pogidon (Wenang) dan rencananya akan berangkat bersama ke Pulau Jawa memakai armada laut.

Ditengah persiapan keberangakatan ke pulau Jawa, munculah seorang laki-laki bernama Matansing dari wilayah Buha. Pria yang tidak lain adalah anak Tolrombiga dan Hagi tersebut datang menghadap kepala Balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya dalam berperang, Matansing menjawab bahwa dirinya sangat pandai berperang dan akan dia buktikan.

Akhirnya Matansing, salah seorang pendekar Bantik ikut berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang membantu Belanda bersama sekitar 3000 orang lainnya. Angin kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang lebar sehingga kecepatan kapal melaju cukup tinggi. Beberapa hari kemudian mereka tiba di pelabuhan Donggala. Kapal-kapal berlabuh untuk mengambil air minum (air tawar) di darat.
Mengetahui tujuan kapal singgah ke Donggala untuk mengabil air tawar, Matansing turun melalui tangga kapal dan mencelupkan daun Nyiru ke air laut. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala, air laut disekitar daun Nyiru itu dicelupkan berubah menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing.

Sehingga kemudian sampailah mereka dipelabuhan Banten. Disepanjang pantai, ternyata pasukan kerajaan banten sudah berjaga-jaga sehingga terjadilah pertempuran hebat. Bunyi tembakan, benturan pedang, sudah tak terkendalikan lagi. Pada bagian ini terjadi diantara tahun 1775-1780.

Sementara pertempuran didarat sudah terjadi ternyata Matansing masih berada di atas kapal. Dia nampak gelisah, hilir mudik di atas kapal. Tiba-tiba lelaki yang 28 tahun diasuh makluk halus  ini berdiri siap dan masuk ke mulut meriam kapal. Dan menyuruh temannya untuk menyalakan meriam.

Matansing terbang seiring dentuman merian dari kapal kearah dermaga pelabuhan Banten. Konon, dia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas istana tempat Raja Banten. Sesampai di istana, Matansing langsung melabrak tujuh pengawal Raja Banten, yaitu tujuh orang laki-laki tinggi besar, sehingga Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal tersebut sebelum tiba pada Raja.
Lelaki dari Bantik ini melompat seperti terbang di pepohonan sekitar taman istana dan langsung menyerang 7 pengawal raja Banten. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi.

Matansing segera menuju ruang kamar Raja Banten, didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala membuka mata, terkejutlah Raja dan dengan segera Matansing membunuhnya. Sebagai bukti kemenangan, Matansing mengambil kumis, janggut serta kuku Raja, untuk dibawah pulang.
Selesai mengambil barang bukti tersebut, Matansing kerluar istana dan didapati ternyata perang telah berakhir. Laskar Banten kalah dan Belanda menang. Sebagaimana ditulis dalam sejarah, bahwa pemberontakan Raja Banten itu di kobarkan oleh Kyai Tapadan Ratu Bagus Buang. Diteruskan oleh Sultan 

Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780
Sementara itu, sesampainya di Wenang Matansing langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang telah dikalahnya.  

Karena kemampua, Abuthan membawa Matansing menemui Residen Tanrolf. Disini Matansing diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah. Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (disuatu tempat yang disebut kelapa lima).

Suatu ketika datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, anak Raja Hassanudin. Ia datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan di Utara Sulawesi. Untuk adu tanding kesaktian dengan mengadu ayam sabungan. Maka Matansing mendengar kedatangan tamu tersebut. Ayam sabung anak Raja Bugis berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya.

Tidak lama berselang, ayam Matansing menang. Namun putra Raja dari Sulawesi Selatan berseru tersebut berseru, “Ayam sabungannya boleh kalah namun orangnya belum tentu kalah”. Mendengar tantangan duel tersebut Matansing masuk ke arena sabung dan keduanya bersiap untuk bertarung. Ini adalah duel maut satu lawan satu, keduanya bermufakat bahawa tempat yang akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa).

Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jagonya. Lantas terbanglah Matansing keawan gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara yang seru berlangsung sengit.

Pertarungan babak pertama selesai dan mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut dibabak kedua ini, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan Putra Raja Hassanudin seperti anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik. Mendapat lawan tangguh, Matansing mengambil tali rotan dari hutan untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung leher musuhnya.

Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa disebut ”kelapa lima”. Hingga sekarang diwilayah Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing, tempat tersebut disebut kelapa lima.




Seiring perjalanan waktu, pendekar dari Buha tersebut sakit tua dan menghilang hingga sekarang. Ia pergi dan tak seorangpun mengetahuinya. Menurut kepercayaan rakyat, ia kembali ke Kahyangan. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. (pras)