Rabu, 27 Februari 2013


Korowai,Suku Pemakan Daging Manusia

Hidup di Rumah Pohon Belantara Papua

Di tengah kemegahan dan kemajuan negeri ini, ternyata masih ada suku yang memiliki kebiasaan menyantap daging manusai. Mereka hidup berkelompok diatas rumah pohon ditengah belantara bagian selatan Papua. Kanibal? Bahkan ada agen wisata yang menawarkan kunjungan wisata selama beberapa hari untuk tinggal bersama dengan suku kanibal ini. Wow!

Papua terkenal dengan kekayaan sumber daya alam serta keragaman sukunya. Salah satunya adalah suku Korowai, satu-satunya suku kanibal yang masih tersisa hingga sat ini. Mereka menguasai wilayah seluas 600 km persegi dibagian selatan pulau Papua. Mereka sebenarnya suku yang cerdas, terbukti mereka mampu membangun sebuah kelompok masyarakat dengan perkampungan yang sulit untuk ditinggali manusia pada umumnya.

Selain gemar memakan daging manusia, disetiap harinya mereka hidup dengan memakan berbagai macam hasil alam, seperti sagu, pisang, palem, pakis, dan hewan-hewan yang bisa diburu. Selain mengonsumsi hewan-hewan buruan seperti burung kasuari, ular, kadal, rusa, atau babi hutan, masyarakat suku Korowai juga memakan larva kumbang.

Dalam keseharian, masyarakat berkulit gelap ini hanya mengenakan pakaian dari dedaunan serta memiliki berbagai macam bentuk senjata. Hal ini disesuaikan dengan apa yang akan mereka buru. Misalkan, tombak khusus untuk membunuh manusia, babi hutan dan menebang sagu.

Masyarakat Korowai tidak mengonsumsi daging manusia secara sembarangan. Berdasarkan kepercayaan yang mereka anut, suku Korowai hanya membunuh manusia yang dianggap melanggar aturan dalam kepercayaan mereka. Salah satunya jika salah seorang warga diketahui sebagai tukang sihir atau khuakhua.
Warga yang dicurigai sebagai khuakhua akan diadili. Jika banyak bukti dia akan segera dibunuh dan dimakan. Anggota tubuh pelaku khuakhua yang telah dihukum mati akan dibagi-bagikan pada semua anggota suku. Sementara otaknya akan dimakan selagi hangat. Orang yang ditugasi membunuh khuakhua adalah yang berhak menyimpan tengkoraknya.

Kebiasaan membunuh dan memakan daging manusia adalah bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Setelah mereka memakan habis tubuh khuakhua, mereka akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan kayu sambil bernyanyi semalaman.

Mungkin bagi orang yang bukan anggota suku Korowai, memakan sesama manusia seperrti itu adalah hal yang sangat menjijikkan dan tidak masuk akal sekaligus mengerikan. Namun kenyataannya, hingga saat ini suku Korowai masih mempraktikkan budaya tersebut. Hampir semua orang dalam suku Korowai pernah ikut memakan daging manusia. Jadi, kanibalisme bagi mereka bukan merupakan hal yang tabu dan bisa dilakukan kapan saja.

Disisi lain dari adat kanibalisme yang mereka anut, keunikan cara hidup dan kebudayaan suku sari ujung timur Nusantara ini sangat menarik bagi para agen pariwisata. Bahkan ada agen wisata yang menawarkan kunjungan wisata selama 12 hari untuk tinggal bersama dengan suku Korowai.

Herlambang (45) seorang pria asal Surabaya pernah ikut bergabung dalam paket kunjungan wisata ke suku kanibal ini. Dia menginap bersama di rumah pohon suku Korowai, bercengkerama dan memakan makanan mereka. Selama hampir dua minggu penggusaha dari Kota Buaya ini ikut serta menjalani kehidupan suku. Belajar bahasa Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Apakah Anda cukup berani untuk menikmati hari-hari bersama para pemakan manusia ini?

Dalam ada keseharian, babi digunakan sebagai alat tukar. Misalnya dalam penyelesaian sengketa antara keluarga dan juga dikorbankan dalam sebuah upacara adat dengan membiarkan darahnya mengalir kedalam sungai sebagai korban pemujaan untuk dewa mereka. “Babi digunakan untuk upaca agama keyakinan mereka. Pada masa sulit pangan dan buruan mereka akan mengorbankan babi agar roh leluhur mereka menolong merek,” ungkap Herlambang.

Pesta adat yang lebih baik menurut orang-orang dari luar suku Korowai, dari pada memakan manusia adalah pesta makan Sagu. “Makanan lain yang lezat adalah tempayak atau larva dari kumbang Capricorn yang bisa diambil dari pangkal pohon sagu,” imbuhnya.
Mulai Mengenal Dunia Luar

Keberadaan suku Korowai sendiri baru diketahui pada tahun 1970-an. Sebenarnya beberapa tahun sebelumnya sudah banyak peneliti-peneliti dari luar negeri bermaksud masuk kelingkungan adat suku Korowai. Namun sayangnnya tidak membawa hasil bahkan dikabarkan ada yang tidak kembali.
Kala itu seorang misionaris Belanda berhasil datang ke kawasan dan mulai menjalani hidup bersama mereka. Dari misionaris inilah pada akhirnya suku Korowai mempelajari bahasa dan kebiasaan manusia lain dari luar masyarakat mereka.

Pada tahun 1979, misionaris tersebut mendirikan sebuah pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada dunia luar. Biasanya yang mau bergabung dengan pemukiman baru tersebut adalah anggota suku Korowai yang masih muda usia.

Kunjungan berikutnya dilakukan oleh Rupert Stasch, seorang antropolog dari Reed College, Oregon. Stasch tinggal selama 16 bulan bersama suku Korowai untuk mempelajari kebudayaan mereka. Selain itu, pada bulan Januari - Februari 2011, tim Human Planet BBC juga mendatangi suku Korowai untuk mengabadikan kebudayaan mereka yang unik dalam membangun rumah.

Di antara para peneliti yang paling fenomenal adalah kunjungan seorang wartawan bernama Paul Raffaele. Dia menetap selama empat hari bersama suku Korowai pada bulan Mei 2006. Dalam sebuah penelitiannya, Paul mengatakan, kanibalisme bagi suku Korowai penting bagi hubungan mereka dengan dunia gaib.
Rumah diatas pohon suku korowai

Kediaman para anggota suku Korowai berada tinggi di atas poho ditengah belantara. Di hutan dataran Papua tersebut rumah-rumah pohon suku pemakan manusia ini menyapa penjelajah dari penjuru dunia.

Rumah-rumah sederhana itu terbuat dari pelepah daun nipah, pohon penghasil sagu. Untuk atap nya dan alas rumah dibuat dari kulit katu balsa yg diserut dengan pisau karang. Hal ini membuat rumah pohon tidak lah sederhana karena letaknya yg berada 40-50 m dari atas tanah. Rumah yang dapat menampung 5 keluarga ini proses pembangunannya membutuhkan waktu minimal 2 thn.

Sebenarnya hal ini tidak cocok jika Suku Korowai dianggap suku primitif. Terlihat dari ketatnya aturan dalam hal etika kesusilaan dibanding dengan masyarakat modern pada umumnya. Terbukti, kondisi rumah berukuran 6 X 11 X 7 meter tersbut terbagi 2 ruangan yakni ruang laki-laki dan ruang wanita lengkap dengan beranda masing-masing. Kaum laki-laki tidak boleh masuk keruangan wanita, begitu juga sebaliknya.

Jangankan masuk, untuk berbicara pun tidak dilakukan secara tatap muka melainkan melalui pembatas. Pengecualian bagi laki-laki yg masih menyusui boleh berada dalam ruangan wanita sampai berhenti menyusu. Bilik wanita juga sekaligus menjadi tempat penyimpanan semua harta kekayaan dan binatang peliharaan, mulai dari kalung taring babi,gigi anjing, kalung kerang hingga anjing dan babi.

Uniknya, walaupun sama-sama suku dari Papua, tidak semua diantara para suku itu bisa memanjatnya rumah Korowai. Ada teknik tertentu dan hanya suku rumah pohon yang bisa melakukannya. Jika sampai terpeleset bakal terjatuh dan dipastikan luka parah bahkan kematian bakal merengut. Soal memanjat, suku Korowai adalah ahlinya, bayangkan bagaimana mereka membawa anjing dan babi dari bawah dibawa naik kedalam rumah dan sebaliknya.

Wanita Korowai juga gemar berdandan, mulai dari hidung yg di gantungi perhiasan dari rotan dan kalung dari kerang. Lengan berhias gelang akar rotan dan cawat kecil buat menutupi aurat. Sedangkan kaum laki-laki hanya bertelanjang bulat.

Merujuk pada data dinas sosial, jumlah suku korowai mencapai 2000 keluarga dan melalui program turun pohon alias dirumahkan layaknya masyarakat papua lainnya hanya berhasil 92 keluarga sedangkan sebagian besar memilih tetap diatas pohon. Seiring pejalanan waktu, tak lagi jelas berapa jumlah anggota suku ini apakah bertambah atau menyusut akibat penyakit, peperangan dan akibat lainnya.

Saat sebagian besar anggota suku Korowai mulai mau turun pohon untuk bermukim dirumah-rumah biasa, mereka semakin terbuka untuk  berbincang-bincang dengan orang dari luar suku mereka. Beberapa anggota suku korowai dengan keras membantah kalau sukunya memiliki kegemaran pemakan manusia.

Mereka menjelaskan, apa yang dilakukan hanyalah sebatas ritual untuk mengingatkan kepada pihak lain bahwa yg dilakukan sudah kelewat batas. Mereka yang sudah hidup didaratan mengatakan suku Korowai tidak main panah bila bertemu pendatang baru atau suku lainnya. Apalagi kemudian memakan dagingnya.
Mansye Kepala Suku Suka Makan Payudara

Manasye adalah nama lelaki seorang suku Korowai yang berperawakan kurus, dengan rambut keriting khas Papua. Dia adalah Kepala Suku Korowai, masih senang tinggal bersama anggota sukunya di dalam hutan. Dia mengatakan anggota sukunya masih suka gaya hidup berperang, berburu, berzinah dan membunuh sampai hari ini.

Dia mengatakan, praktek kanibalisme masih terjadi di sana, sampai hari ini, terutama bila ketahuan mencuri, mempraktekkan suanggi (iblis/santet), berzinah, tak ayal lagi mereka akan dibunuh dan mayatnya dimakan bersama-sama. Dulu, Manasye lebih suka bagian susu atau payudara wanita dan mungkin karena banyak lemaknya.


Manasye pernah diundang dan bertemu dengan ibu Linda Gumelar, (Menteri Pemberdayaan Perempuan). Bahkan mereka pernah datang ke Jakarta untuk memenuhi undangan Presiden SBY.  Setelah bertemu presiden, kabarnya suku Koroway mendcapat sejumlah bantuan, namun tindak lanjutnya tidak ada. Bantuan itu raib di tengah jalan alias tidak sampai ke mereka.(pras)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar